Sabtu, 03 Januari 2015

Random Notes

Sebenarnya tulisan-tulisan dibawah ini bisa menjadi tulisan dengan judul sendiri dan bisa menjadi sebuah karangan yang panjang, namun saya bukan tipe orang yang getol dan gak suka yang panjang-panjang. Baru setengah nulis ajah, saya sudah bosan, mungkin bakat saya bukan menulis. Tapi saya suka berkhayal, khayalan bisa menjadi sebuah karya masterpiece bila bisa tervisualisasikan kepada sebuah tulisan dan mungkin bisa tervisualisasikan lebih lanjut menjadi sebuah film. Ide dalam kepala saya dalam menulis banyak sekali walaupun mungkin tidak menarik bagi anda baca,namun saya tidak peduli. Saya hanya menuangkan apa yang saya rasakan dalam suatu tulisan pendek (inget yah saya gak suka yang panjang-panjang). Saking banyaknya ide dalam otak saya, saya analogikan seperti sperma yang begitu banyaknya yang sedang bersaing memperebutkan sel ovum. Sel ovum disini adalah saya. Dan sperma sendiri adalah ide dalam otak saya. Akhirnya dari beberapa hal seperti saya tidak suka yang panjang-panjang dan begitu banyak ide yang saya ingin tumpahkan, maka saya tuliskan beberapa tulisan dibawah ini. Sebagai penyaluran hasrat terpendam sepeti judul novel karangan Eka Kurniawan “seperti dendam, rindu harus dibayar tuntas”. Jeng... jeng....

I. Saya dan menulis

Menulis, sebagian orang menganggap menulis atau mengarang adalah sebuah hal yang membosankan,. Dan bagi saya ada benarnya, namun tidak seutuhnya benar. Awalnya saya mengenal dunia tulis menulis dan akhirnya bisa menghasilkan beberapa tulisan yang terbit di kalangan para ibu-ibu muda, karena dikenalkan oleh Ricky Joe Amstrong, temen tapi bukan temen deket waktu kuliah dulu.

“Mas Mbeb awalnya bisa deket sama Ricky gimana ceritanya?” Mas Maung bertanya disebuah pagi yang hujan.

“saya lupa, dan bener-benar lupa”. Dari momen tersebutlah saya berpikir keras, “iya yah awalnya saya bisa deket ama Ricky  gimana ceritanya? Padahal waktu kuliah dulu kita hanya sebatas kenal, jarang menyapa”.

Kalau kita ingin menarik benang merah, tentunya kita tidak boleh lupa akan sejarah. Ada beberapa persamaan saya dengan Ricky, salah satunya yaitu kita sama-sama bekerja RSCM. Mungkin berawal dari situ saya bisa deket dengan beliau. Awal saya kerja di RSCM Ricky sering main ke kostan saya, sebatas hanya untuk istirahat atau dia sengaja ingin mengenalkan film-film atau buku-buku yang dia sudah baca dan menawarkan kepada saya untuk dipinjamkan. Salah satunya film kontroversial The Act of Killing.
  
Kadangkala Ricky datang ke kostan saya, namun saya merasa badannya ada disini tapi jiwanya tidak disini. Asal kita tahu, waktu itu Ricky sedang mempersiapkan pernikahannya. Hingga suatu saat, Ricky bercerita kepada saya, kalau dia ingin membuat sebuah zine yang bertemakan keperawatan. Zine bukan majalah, lebih kecil dari sebuah majalah dan gratis. Diproyeknya tersebut saya diajak untuk menjadi penulis tetap, awalnya saya ragu namun akhirnya saya mencoba dan bisa menghasilkan beberapa tulisan. Saya sendiri suka mengkhayal sebuah cerita,namun sulit tervisualisasikan kepada suatu hal yang berbentuk seperti tulisan.Ditambah lagi saya belum menemukan bakat apa yang saya miliki? Mungkin menulis?? Saya tidak bakat dalam seni.

II.Kesombongan Bang Udin Bukan Pada Tempatnya

Tulisan ini saya ingin bercerita tentang Bang Udin, penjaga kostan yang kita sebut “Kostan Bang Udin Syndicate”. Bukan kostan beliau sih, tapi kepada beliaulah saya bayar kostan tadi pagi. Akhir-akhir ini Bang Udin sering menyombongkan koleksi batu akiknya ke saya atau pun Mas Maung.

“nih liat Adi dan Arief batu akik sebelum diolah” cetus beliau sambil memperlihatkan batu akik seukuran kepala bayi.

“iya bagus, Bang Udin.” jawab saya, dengan muka datar.

Pembicaraan berhenti sampai disitu, saya kembali mengobrol dengan Mas Maung sementara Bang Udin masih mengelap batu akik di depan kami sambil berusaha menarik perhatian saya dan Mas Maung. Tapi usahanya tidak berhasil, Bang Udin pun lelah dan pergi.

Situasi akan tampak berbeda bila Bang Udin menyombongkan batu akik tersebut kepada Bunglay (temen Beny). Tanggapan Bunglay pasti tidak sedatar tanggapan saya yang gak memiliki ketertarikan terhadap batu akik. Entah kenapa Bunglay tidak menjadi hipster seperti sebelum-sebelumnyanya, beliau menjadi penikmat dan pengkoleksi batu akik mengikuti tren para om-om kebanyakan.  Bukan hanya Bunglay yang terpikat terhadap batu akik pada usianya yang masih belia, masih banyak remaja-remaja di luar sana yang bangga memakai batu akik di jari-jemarinya.

“nih liat Haris (nama samaran Bunglay) batu akik sebelum diolah” kata Bang Udin sambil memperlihatkan batu seukuran kepala bayi ke Bunglay.

“keren banget Bang Udin, pasti batu akik ini berjenis homo sapiens dan biasanya terdapat dibulan, pasti ini harganya sangat mahal Bang Udin, kalo dijual harga jualnya pasti masih tinggi.” jawab Bunglay dengan memperlihatkan muka horny.

Dari situ saya belajar, kalau mau sombong, sombonglah pada tempatnya. Kalau sedang sombong tapi tidak mendapatkan feedback positif dari target kesombongan kita, pastilah hal itu akan sangat mengecewakan.

III. Saya, RSCM, dan Celana Pendek
 
Jakarta itu panas dan salah satu aktivitas keseharian saya adalah berangkat kerja ke RSCM. Jarak dari kostan Bang Udin ke RSCM sekitar 500 meter dan biasanya saya berjalan kaki untuk menempuh rute tersebut. Saya mudah berkeringat, berjalan 500 meter di cuaca Jakarta yang adem aja kadang saya berkeringat apalagi di cuaca panas. Oleh karena itu saya lebih nyaman pake kaos belel sama celana pendek untuk pergi kerja. Karena pada intinya, haram hukumnya pake seragam perawat RSCM di luar lingkungan RSCM. Akhirnya pada suatu pagi, pagi itu pagi yang terik, dan pagi itu pagi di hari Senin yang begitu sibuk, saya berjalan di lorong lantai basement gedung A RSCM. Berjalan menuju  kamar ganti dengan hanya mengenakan kaos belel bergambarkan logo Starbucks namun berisi plesetan yang saya beli awal tahun 2011 (kejadian ini terjadi di tahun 2014) seharga 20 ribu rupiah di Bandung. Kaosnya emang belel bahkan ada bagian bolong di area perut seukuran paku payung. Selain pake kaos belel, saya juga pake celana pendek dan sendal jepit. Sekitar 5 meter sebelum nyampe kamar ganti saya bertemu dengan kepala SDM gedung A, dan terjadilah perbincangan seperti ini:

“Arief!! Kamu mau kerja atau mau berlibur?!” sindir kepala SDM YTH dengan muka ketus karena beban kerja hari Senin kali yah.?

“Saya menganggap bekerja itu adalah berlibur, makanya saya selalu mengawali hari Senin dengan senang dan gembira serta saya mencintai pekerjaan saya. Bapak tau moto hidup saya KERJA,, KERJA,,, DAN KERJA,,, RSCM sudah menjadi rumah ketiga saya, Pak. Bapak udah saya anggap saudara. Direktur kita, sudah saya anggap kakek sendiri. Dan saya menganggap semua pegawai RSCM adalah saudara ketiga saya” jawab saya tegas dalam hati. Kurang apa coba saya sebagai seorang pegawai yang menjunjung tinggi dedikasi dan selalu memegang teguh istilah MENOLONG DAN MEMBERIKAN YANG TERBAIK.

“Saya menganggap bekerja itu adalah berlibur Pak, makanya saya selalu santai dalam bekerja dan saya senang” nah ini ciusan jawaban saya yang sebenernya ketika beliau menyindir saya.

Saya langsung tinggalkan beliau begitu saja, dan beliau juga pergi tanpa sepatah kata pun.

IV. Saya, Mas Maung, Yosi : 3 laki-laki yang tidak mempunyai prinsip kah? Atau kami belum menemukan pasangan yangmembuat kami memiliki rasa takut kehilangan bila tidak memiliki, menikahi,serta menggagahi?

Pedekate adalah fase sebelum pacaran, fase ini sebenarnya lebih menyenangkan daripada fase pacaran. Entah kenapa wanita akan lebih menunjukkan siapa dirinya, seberapakah posesifnya ketika status telah meningkat dari pedekate ke pacaran. (Ricky Joe Armstrong, 2014)

Ada banyak letupan-letupan badai serotonin ketika masih pedekate, ada banyak kebutuhan seksual secara arti luas yang terpenuhi selama masa pedekate, tapi entah kenapa hal itu menjadi membosankan setelah pacaran. Setidaknya itulah yang saya, Mas Maung, dan Yosi rasakan. Kami terlihat tidak mempunyai prinsip kah? Atau belum menemukan wanita yang membuat kita merasakan takut kehilangan? Atau mungkin kita hanya puas hanya dengan status gebetan? Kalau kita analogikan kenapa kami merasa lebih nyaman menjalani masa pedekate daripada masa pacaran mungkin seperti ini :

Ada sepasang kekasih yang hendak berhubungan badan, mereka melakukan pemanasan, cium kanan, cium kiri, cium sanah, cium sinih. Ketika pemanasan semakin panas, nadi semakin cepat, respirasi rate meningkat, ada gejolak perasaan yang perlu dituntaskan, dan ketika sang pasangan wanita pasrah terhadap sang pasangan laki-laki mau diapakan. Tapi tiba-tiba saja sang laki-laki lebih memilih untuk pergi dan meninggalkan wanita yang sedang terbaring pasrah dan memperlihatkan muka keanehan. (sumpah absurd dan gak nyambung sekali analoginya)

Mas Maung dan Yosi sendiri banyak gebetannya. Kalau lagi ditanya sedang dimana? Jawaban mereka pasti meliuk-liuk alias lagi jalan dengan gebetan, dan tentunya gebetan-gebetannya selalu berbeda-beda di setiap momennya. Mereka berdua termasuk laki-laki yang tidak mempunya prinsipkah? Atau mereka sedang mencari pasangan yang tepat?

Ketika saya curhat kepada mas maung (kita memang laki-laki lemah) tentang gebetan saya, Mas Maung bertanya,

“Mas Mbeb,kenapa gak jadian aja sih? Tinggal sekali shoot tuh, pasti gol?” tanya Mas Maung.

“Aduh gimana yah Mas Maung, gebetan saya nyarinya calon suami bukan pacar. Nampaknya dia orang yang berperasaan banget dan emang seriusan cari calon suami, apalagi usianya udah cocok untuk menikah. Sayakan belum kepikiran berumah tangga.” jawab saya.

“Jalanin aja Mas Mbeb, kalau jodoh pasti bertemu, kalau bukan jodoh yah lari deh” sergah Mas Maung.

Saya tampak tidak memiliki prinsipkah? Atau saya tidak ingin menyakiti gebetan saya di lain waktu ketika dia sangat berharap lebih terhadap saya?

Pernah ada temen yang bilang kalau laki-laki itu memiliki golden period, periode dimana waktu yang tepat bagi seorang laki-laki mencari pasangan hidup dan Tuhan mengirim pasangan yang tepat untuknya. Kadangkala laki-laki tidak peka dengan golden period tersebut. Banyak wanita yang ingin serius dengannya namun sang laki-laki sibuk dengan hobi dan karirnya. Dan akhirnya golden period tersebut terlewati begitu saja. Efek jangka panjangnya setelah golden period tersebut terlewati adalah sang laki-laki susah menemukan pasangan yang tepat.

Kesimpulannya masih sebuah tanda tanya :
1.      Kami tidak mempunyai prinsip?
2.      Kami terlalu nyaman sendiri?
3.      Kami sedang mencari pasangan yang tepat? Yang bisa membuat kami cemburu, merasa takut kehilangan, dan merasa nyaman di dekatnya?

Salemba Tengah, Kostan Bang Udin, 3 Januari 2015

Arief Rahma Hidayat, AMK

0 komentar:

Posting Komentar