Sebenarnya tulisan-tulisan dibawah ini bisa menjadi tulisan dengan
judul sendiri dan bisa menjadi sebuah karangan yang panjang, namun saya
bukan tipe orang yang getol dan gak suka yang panjang-panjang. Baru
setengah nulis ajah, saya sudah bosan, mungkin bakat saya bukan menulis.
Tapi saya suka berkhayal, khayalan bisa menjadi sebuah karya masterpiece bila bisa tervisualisasikan kepada sebuah tulisan dan
mungkin bisa tervisualisasikan lebih lanjut menjadi sebuah film. Ide
dalam kepala saya dalam menulis banyak sekali walaupun mungkin tidak
menarik bagi anda baca,namun saya tidak peduli. Saya hanya menuangkan
apa yang saya rasakan dalam suatu tulisan pendek (inget yah saya gak suka
yang panjang-panjang). Saking banyaknya ide dalam otak saya, saya
analogikan seperti sperma yang begitu banyaknya yang sedang bersaing
memperebutkan sel ovum. Sel ovum disini adalah saya. Dan sperma sendiri
adalah ide dalam otak saya. Akhirnya dari beberapa hal seperti saya
tidak suka yang panjang-panjang dan begitu banyak ide yang saya ingin
tumpahkan, maka saya tuliskan beberapa tulisan dibawah ini. Sebagai
penyaluran hasrat terpendam sepeti judul novel karangan Eka Kurniawan “seperti dendam, rindu harus dibayar tuntas”. Jeng... jeng....
I. Saya dan menulis
Menulis,
sebagian orang menganggap menulis atau mengarang adalah sebuah hal yang
membosankan,. Dan bagi saya ada benarnya, namun tidak seutuhnya benar.
Awalnya saya mengenal dunia tulis menulis dan akhirnya bisa menghasilkan
beberapa tulisan yang terbit di kalangan para ibu-ibu muda, karena dikenalkan
oleh Ricky Joe Amstrong, temen tapi bukan temen deket waktu
kuliah dulu.
“Mas Mbeb awalnya bisa deket sama Ricky gimana ceritanya?” Mas Maung bertanya disebuah pagi yang hujan.
“saya lupa, dan bener-benar
lupa”. Dari momen tersebutlah saya berpikir keras, “iya yah awalnya
saya bisa deket ama Ricky gimana ceritanya? Padahal waktu kuliah dulu
kita hanya sebatas kenal, jarang menyapa”.
Kalau kita ingin menarik
benang merah, tentunya kita tidak boleh lupa akan sejarah. Ada beberapa
persamaan saya dengan Ricky, salah satunya yaitu kita sama-sama bekerja
RSCM. Mungkin berawal dari situ saya bisa deket dengan beliau. Awal saya
kerja di RSCM Ricky sering main ke kostan saya, sebatas hanya untuk
istirahat atau dia sengaja ingin mengenalkan film-film atau buku-buku
yang dia sudah baca dan menawarkan kepada saya untuk dipinjamkan. Salah
satunya film kontroversial The Act of Killing.
Kadangkala Ricky
datang ke kostan saya, namun saya merasa badannya ada disini tapi jiwanya tidak disini. Asal kita tahu, waktu itu Ricky sedang
mempersiapkan pernikahannya. Hingga suatu saat, Ricky bercerita kepada
saya, kalau dia ingin membuat sebuah zine yang bertemakan keperawatan.
Zine bukan majalah, lebih kecil dari sebuah majalah dan gratis.
Diproyeknya tersebut saya diajak untuk menjadi penulis tetap, awalnya
saya ragu namun akhirnya saya mencoba dan bisa menghasilkan beberapa
tulisan. Saya sendiri suka mengkhayal sebuah cerita,namun sulit
tervisualisasikan kepada suatu hal yang berbentuk seperti
tulisan.Ditambah lagi saya belum menemukan bakat apa yang saya miliki?
Mungkin menulis?? Saya tidak bakat dalam seni.
II.Kesombongan Bang Udin Bukan Pada Tempatnya
Tulisan
ini saya ingin bercerita tentang Bang Udin, penjaga kostan yang kita
sebut “Kostan Bang Udin Syndicate”. Bukan kostan beliau sih, tapi kepada
beliaulah saya bayar kostan tadi pagi. Akhir-akhir ini Bang Udin sering
menyombongkan koleksi batu akiknya ke saya atau pun Mas Maung.
“nih liat Adi dan Arief batu akik sebelum diolah” cetus beliau sambil memperlihatkan batu akik seukuran kepala bayi.
“iya bagus, Bang Udin.” jawab saya, dengan muka datar.
Pembicaraan
berhenti sampai disitu, saya kembali mengobrol dengan Mas Maung sementara Bang Udin masih mengelap batu akik di depan kami sambil berusaha menarik
perhatian saya dan Mas Maung. Tapi usahanya tidak berhasil, Bang Udin pun
lelah dan pergi.
Situasi akan tampak berbeda bila Bang Udin menyombongkan batu
akik tersebut kepada Bunglay (temen Beny). Tanggapan Bunglay pasti
tidak sedatar tanggapan saya yang gak memiliki ketertarikan terhadap batu
akik. Entah kenapa Bunglay tidak menjadi hipster seperti sebelum-sebelumnyanya,
beliau menjadi penikmat dan pengkoleksi batu akik mengikuti tren para
om-om kebanyakan. Bukan hanya Bunglay yang terpikat terhadap batu akik
pada usianya yang masih belia, masih banyak remaja-remaja di luar
sana yang bangga memakai batu akik di jari-jemarinya.
“nih
liat Haris (nama samaran Bunglay) batu akik sebelum diolah” kata Bang Udin sambil memperlihatkan batu seukuran kepala bayi ke Bunglay.
“keren
banget Bang Udin, pasti batu akik ini berjenis homo sapiens dan
biasanya terdapat dibulan, pasti ini harganya sangat mahal Bang Udin,
kalo dijual harga jualnya pasti masih tinggi.” jawab Bunglay dengan
memperlihatkan muka horny.
Dari situ saya belajar, kalau mau
sombong, sombonglah pada tempatnya. Kalau sedang sombong tapi tidak
mendapatkan feedback positif dari target kesombongan kita, pastilah hal
itu akan sangat mengecewakan.
III. Saya, RSCM, dan Celana Pendek
Jakarta
itu panas dan salah satu aktivitas keseharian saya adalah berangkat kerja
ke RSCM. Jarak dari kostan Bang Udin ke RSCM sekitar 500 meter dan
biasanya saya berjalan kaki untuk menempuh rute tersebut. Saya mudah
berkeringat, berjalan 500 meter di cuaca Jakarta yang adem aja kadang
saya berkeringat apalagi di cuaca panas. Oleh karena itu saya lebih
nyaman pake kaos belel sama celana pendek untuk pergi kerja. Karena pada
intinya, haram hukumnya pake seragam perawat RSCM di luar lingkungan
RSCM. Akhirnya pada suatu pagi, pagi itu pagi yang terik, dan pagi itu
pagi di hari Senin yang begitu sibuk, saya berjalan di lorong lantai
basement gedung A RSCM. Berjalan menuju kamar ganti dengan hanya
mengenakan kaos belel bergambarkan logo Starbucks namun berisi
plesetan yang saya beli awal tahun 2011 (kejadian ini terjadi di tahun 2014) seharga
20 ribu rupiah di Bandung. Kaosnya emang belel bahkan ada bagian bolong di
area perut seukuran paku payung. Selain pake kaos belel, saya juga pake
celana pendek dan sendal jepit. Sekitar 5 meter sebelum nyampe kamar ganti
saya bertemu dengan kepala SDM gedung A, dan terjadilah perbincangan
seperti ini:
“Arief!! Kamu mau kerja atau mau berlibur?!” sindir kepala SDM YTH dengan muka ketus karena beban kerja hari Senin kali yah.?
“Saya
menganggap bekerja itu adalah berlibur, makanya saya selalu mengawali
hari Senin dengan senang dan gembira serta saya mencintai pekerjaan saya. Bapak tau moto hidup saya KERJA,, KERJA,,, DAN KERJA,,, RSCM sudah
menjadi rumah ketiga saya, Pak. Bapak udah saya anggap saudara. Direktur kita, sudah saya anggap kakek sendiri. Dan saya menganggap
semua pegawai RSCM adalah saudara ketiga saya” jawab saya tegas dalam hati. Kurang apa
coba saya sebagai seorang pegawai yang menjunjung tinggi dedikasi dan
selalu memegang teguh istilah MENOLONG DAN MEMBERIKAN YANG TERBAIK.
“Saya
menganggap bekerja itu adalah berlibur Pak, makanya saya selalu santai
dalam bekerja dan saya senang” nah ini ciusan jawaban saya yang sebenernya
ketika beliau menyindir saya.
Saya langsung tinggalkan beliau begitu saja, dan beliau juga pergi tanpa sepatah kata pun.
IV. Saya, Mas Maung, Yosi : 3 laki-laki yang tidak mempunyai prinsip kah? Atau kami
belum menemukan pasangan yangmembuat kami memiliki rasa takut
kehilangan bila tidak memiliki, menikahi,serta menggagahi?
Pedekate
adalah fase sebelum pacaran, fase ini sebenarnya lebih menyenangkan
daripada fase pacaran. Entah kenapa wanita akan lebih menunjukkan siapa
dirinya, seberapakah posesifnya ketika status telah meningkat dari
pedekate ke pacaran. (Ricky Joe Armstrong, 2014)
Ada banyak
letupan-letupan badai serotonin ketika masih pedekate, ada banyak
kebutuhan seksual secara arti luas yang terpenuhi selama masa pedekate,
tapi entah kenapa hal itu menjadi membosankan setelah pacaran. Setidaknya
itulah yang saya, Mas Maung, dan Yosi rasakan. Kami terlihat tidak
mempunyai prinsip kah? Atau belum menemukan wanita yang membuat kita
merasakan takut kehilangan? Atau mungkin kita hanya puas hanya dengan
status gebetan? Kalau kita analogikan kenapa kami merasa lebih nyaman
menjalani masa pedekate daripada masa pacaran mungkin seperti ini :
Ada sepasang kekasih yang hendak berhubungan badan, mereka melakukan
pemanasan, cium kanan, cium kiri, cium sanah, cium sinih. Ketika
pemanasan semakin panas, nadi semakin cepat, respirasi rate meningkat,
ada gejolak perasaan yang perlu dituntaskan, dan ketika sang pasangan
wanita pasrah terhadap sang pasangan laki-laki mau diapakan. Tapi tiba-tiba saja sang
laki-laki lebih memilih untuk pergi dan meninggalkan wanita yang sedang
terbaring pasrah dan memperlihatkan muka keanehan. (sumpah absurd dan
gak nyambung sekali analoginya)
Mas Maung dan Yosi sendiri banyak gebetannya. Kalau
lagi ditanya sedang dimana? Jawaban mereka pasti meliuk-liuk alias lagi
jalan dengan gebetan, dan tentunya gebetan-gebetannya selalu
berbeda-beda di setiap momennya. Mereka berdua termasuk laki-laki yang
tidak mempunya prinsipkah? Atau mereka sedang mencari pasangan yang
tepat?
Ketika saya curhat kepada mas maung (kita memang laki-laki lemah) tentang gebetan saya, Mas Maung bertanya,
“Mas Mbeb,kenapa gak jadian aja sih? Tinggal sekali shoot tuh, pasti gol?” tanya Mas Maung.
“Aduh
gimana yah Mas Maung, gebetan saya nyarinya calon suami bukan pacar. Nampaknya dia orang yang berperasaan banget dan emang seriusan cari calon
suami, apalagi usianya udah cocok untuk menikah. Sayakan belum
kepikiran berumah tangga.” jawab saya.
“Jalanin aja Mas Mbeb, kalau jodoh pasti bertemu, kalau bukan jodoh yah lari deh” sergah Mas Maung.
Saya
tampak tidak memiliki prinsipkah? Atau saya tidak ingin menyakiti
gebetan saya di lain waktu ketika dia sangat berharap lebih terhadap
saya?
Pernah ada temen yang bilang kalau laki-laki itu
memiliki golden period, periode dimana waktu yang tepat bagi seorang
laki-laki mencari pasangan hidup dan Tuhan mengirim pasangan yang tepat
untuknya. Kadangkala laki-laki tidak peka dengan golden period
tersebut. Banyak wanita yang ingin serius dengannya namun sang
laki-laki sibuk dengan hobi dan karirnya. Dan akhirnya golden period
tersebut terlewati begitu saja. Efek jangka panjangnya setelah golden
period tersebut terlewati adalah sang laki-laki susah menemukan pasangan
yang tepat.
Kesimpulannya masih sebuah tanda tanya :
1. Kami tidak mempunyai prinsip?
2. Kami terlalu nyaman sendiri?
3.
Kami sedang mencari pasangan yang tepat? Yang bisa membuat kami
cemburu, merasa takut kehilangan, dan merasa nyaman di dekatnya?
Salemba Tengah, Kostan Bang Udin, 3 Januari 2015
Arief Rahma Hidayat, AMK
Sabtu, 03 Januari 2015
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar